Kisah Cinta Laila Majnun - Kisah Dan Hikmah

Laila dan Majnun, Sebuah Kisah Cinta bergaya Arab yang sangat terkenal sejak zaman pertengahan, Sebuah Cerita Cinta dua sejoli yang berawal sangat membahagiakan dan sangat romantis namun berakhir dengan begitu memilukan dan menyayat hati, mari kita simak saja langsung kisahnya..

Kisah Cinta Layla Majnun


Alkisah, seorang kepala suku Bani Umar di Jazirah Arab memiliki segala macam yang diinginkan orang, kecuali satu hal bahwa ia tak punya seorang anakpun.Para tabib di desa itu menganjurkan berbagai macam ramuan dan obat, tetapi tidak pernah berhasil.

Ketika semua usaha tampak gagal, istrinya menyarankan agar mereka berdua bersujud di hadapan Tuhan dan dengan tulus memohon kepada Allah swt memberikan anugerah kepada mereka berdua. “Mengapa tidak?” jawab sang kepala suku. “Kita telah mencoba berbagai macam cara. mari, kita coba sekali lagi, tak ada ruginya.”

Mereka pun bersujud kepada Allah, sambil berurai air mata dari relung hati mereka yang terluka. “Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan kami. Anugerahkan kepada kami tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami.”

Tak lama kemudian, doa mereka dikabulkan, dan Allah menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang diberi nama Qais. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Qais dicintai oleh semua orang. Ia sangat tampan, bermata besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat perhatian dan kekaguman.

Sejak awal, Qais telah memperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari seni berperang dan memainkan musik, menggubah syair dan juga melukis.

Ketika sudah cukup usia untuk memasuki sekolah, ayahnya memutuskan membangun sebuah sekolah yang indah dengan guru-guru terbaik di Arab yang mengajar di sana, dan hanya beberapa anak saja yang bisa belajar di situ. Anak-anak lelaki dan perempuan dari keluarga terpandang di seluruh jazirah Arab saja yang boleh menimba ilmu di sekolah baru ini.

Di antara mereka ada seorang anak perempuan dari kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata indah, yang memiliki kecantikan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam, dan karena alasan inilah mereka menyebutnya Laila-”Sang Malam”. Meski ia baru berusia dua belas tahun, sudah banyak pria melamarnya untuk dinikahi, sebagaimana lazimnya kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar pada usia yang masih sangat muda, untuk di nikahi suatu hari nanti ketika mereka telah dewasa.

Laila dan Qais adalah teman sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik satu sama lain. Seiring dengan berjalannya waktu, percikan ketertarikan ini makin lama menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi tempat belajar.

laila majnun di sekolah

Kini, sekolah menjadi tempat mereka saling bertemu. Ketika guru sedang mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba waktunya menulis pelajaran, mereka justru saling menulis namanya di atas kertas. Bagi mereka berdua, tak ada teman atau kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Qais dan Laila.

Mereka buta dan tuli pada yang lainnya. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai mengetahui cinta mereka, dan gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar. Di zaman itu, tidaklah pantas seorang gadis dikenal sebagai sasaran cinta seseorang dan sudah pasti mereka tidak akan menanggapinya.

Ketika orang tua laila mendengar bisik-bisik tentang anak gadis mereka, mereka pun melarangnya pergi ke sekolah. Mereka tak sanggup lagi menahan beban malu pada masyarakat sekitar.

Ketika Laila tidak ada di ruang kelas, Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia meninggalkan sekolah dan menyusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil namanya. Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya di jalan-jalan.

Ia hanya berbicara tentang Laila dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali bila mereka bertanya tentang Laila. Orang-orang pun tertawa dan berkata, ” Lihatlah Qais , ia sekarang telah menjadi seorang majnun, (artinya orang gila) !”

Al-Qais di kunjungi sahabatnya (ilustrasi) 


Akhirnya, Qais dikenal dengan nama ini, yakni “Majnun”. Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka berbicara membuat Majnun tidak tahan. Ia hanya ingin melihat dan berjumpa dengan Laila kekasihnya. Ia tahu bahwa Laila telah dipingit oleh orang tuanya di rumah, yang dengan bijaksana menyadari bahwa jika Laila dibiarkan bebas bepergian, ia pasti akan menjumpai Majnun.

Majnun menemukan sebuah tempat di puncak bukit dekat desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk dirinya yang menghadap rumah Laila. Sepanjang hari Majnun duduk-duduk di depan gubuknya, disamping sungai kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa itu.

Ia berbicara kepada air, menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia menyapa burung-burung dan meminta mereka untuk terbang kepada Laila serta memberitahunya bahwa ia dekat.

Ia menghirup angin dari barat yang melewati desa Laila. Jika kebetulan ada seekor anjing tersesat yang berasal dari desa Laila, ia pun memberinya makan dan merawatnya, mencintainya seolah-olah anjing suci, menghormatinya dan menjaganya sampai tiba saatnya anjing itu pergi jika memang mau demikian. Segala sesuatu yang berasal dari tempat kekasihnya dikasihi dan disayangi sama seperti kekasihnya sendiri.

Bulan demi bulan berlalu dan Majnun tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya kepada Laila demikian besar sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa melihatnya kembali. Terkadang sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang mengunjunginya, tetapi ia berbicara kepada mereka hanya tentang Laila, tentang betapa ia sangat kehilangan dirinya.

Suatu hari, tiga orang pemuda, yang ternyata adalah para sahabatnya, datang mengunjunginya dan serta merta sedemikian terharu oleh penderitaan dan kepedihan Majnun sehingga mereka bertekad membantunya untuk berjumpa kembali dengan Laila. Rencana mereka sangat cerdik. Esoknya, mereka dan Majnun mendekati rumah Laila dengan menyamar sebagai wanita. Dengan mudah mereka melewati wanita-wanita pembantu dirumah Laila dan berhasil masuk ke pintu kamarnya.

Majnun masuk ke kamar, sementara yang lain berada di luar berjaga-jaga. Sejak ia berhenti masuk sekolah, Laila tidak melakukan apapun kecuali memikirkan Qais. Yang cukup mengherankan, setiap kali ia mendengar burung-burung berkicau dari jendela atau angin berhembus semilir, ia memejamkan.matanya sembari membayangkan bahwa ia mendengar suara Qais didalamnya.

Laila yang tengah merindukan Al Qais si Majnun

Ia akan mengambil dedaunan dan bunga yang dibawa oleh angin atau sungai dan tahu bahwa semuanya itu berasal dari Qais. Hanya saja, ia tak pernah berbicara kepada siapa pun, bahkan juga kepada sahabat-sahabat terbaiknya, tentang cintanya.

Pada hari ketika Majnun masuk ke rumah Laila, ia merasakan kehadiran dan kedatangannya. Ia mengenakan pakaian sutra yang sangat bagus dan indah. Rambutnya dibiarkan lepas tergerai dan disisir dengan rapi di sekitar bahunya. Matanya diberi celak hitam, sebagaimana kebiasaan wanita Arab, dengan bedak hitam yang disebut surmeh.

Bibirnya diberi warna yang seperti lipstick merah, dan pipinya yang kemerah-merahan tampak menyala serta menampakkan kegembiraan. Ia duduk di depan pintu dan menunggu. Ketika Majnun masuk, Laila tetap duduk. Sekalipun sudah diberitahu bahwa Majnun akan datang, ia tidak percaya bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi.

Al qais menemui laila

Majnun berdiri di pintu selama beberapa menit, memandangi, sepuas-puasnya wajah Laila. Akhirnya, mereka bersama lagi! Tak terdengar sepatah kata pun, kecuali detak jantung kedua orang yang dimabuk cinta ini. Mereka saling berpandangan dan lupa waktu.

Salah seorang wanita pembantu di rumah itu melihat sahabat-sahabat Majnun di luar kamar tuan putrinya. Ia mulai curiga dan memberi isyarat kepada salah seorang pengawal. Namun, ketika ibu Laila datang menyelidiki, Majnun dan kawan-kawannya sudah jauh pergi. Sesudah orang tuanya bertanya kepada Laila, maka tidak sulit bagi mereka mengetahui apa yang telah terjadi.
Kebisuan dan kebahagiaan yang terpancar di matanya menceritakan segala sesuatunya.

Sesudah terjadi peristiwa itu, ayah Laila menempatkan para pengawal di setiap pintu di rumahnya. Tidak ada jalan lain bagi Majnun untuk menghampiri rumah Laila, bahkan dari kejauhan sekalipun. Akan tetapi jika ayahnya berpikiran bahwa, dengan bertindak hati-hati ini ia bisa mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu sama lain, sungguh ia salah besar.

Ketika ayah Majnun tahu tentang peristiwa di rumah Laila, ia memutuskan untuk mengakhiri drama itu dengan melamar Laila untuk anaknya. Ia menyiapkan sebuah kafilah penuh dengan hadiah dan mengirimkannya ke desa Laila. Sang tamu pun disambut dengan sangat baik, dan kedua kepala suku itu berbincang-bincang tentang kebahagiaan anak-anak mereka.

Ayah Majnun lebih dulu berkata, “Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu “Cinta dan Kekayaan”.

Anak lelakiku mencintai anak perempuanmu, dan aku bisa memastikan bahwa aku sanggup memberi mereka cukup banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia dan menyenangkan. Mendengar hal itu, ayah Laila pun menjawab, “Bukannya aku menolak Qais.

Aku percaya kepadamu, sebab engkau pastilah seorang mulia dan terhormat,” jawab ayah Laila. “Akan tetapi, engkau tidak bisa menyalahkanku kalau aku berhati-hati dengan anakmu. Semua orang tahu perilaku abnormalnya. Ia berpakaian seperti seorang pengemis.

Ia pasti sudah lama tidak mandi dan iapun hidup bersama hewan-hewan dan menjauhi orang banyak. “Tolong katakan kawan, jika engkau punya anak perempuan dan engkau berada dalam posisiku, akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?”

Ayah Qais tak dapat membantah. Apa yang bisa dikatakannya? Padahal, dulu anaknya adalah teladan utama bagi awan-kawan sebayanya? Dahulu Qais adalah anak yang paling cerdas dan berbakat di seantero Arab? Tentu saja, tidak ada yang dapat dikatakannya.

Bahkan, sang ayahnya sendiri susah untuk mempercayainya. Sudah lama orang tidak mendengar ucapan bermakna dari Majnun. “Aku tidak akan diam berpangku tangan dan melihat anakku menghancurkan dirinya sendiri,” pikirnya. “Aku harus melakukan sesuatu.”

Ketika ayah Majnun kembali pulang, ia menjemput anaknya, Ia mengadakan pesta makan malam untuk menghormati anaknya. Dalam jamuan pesta makan malam itu, gadis-gadis tercantik di seluruh negeri pun diundang. Mereka pasti bisa mengalihkan perhatian Majnun dari Laila, pikir ayahnya.

Di pesta itu, Majnun diam dan tidak mempedulikan tamu-tamu lainnya. Ia duduk di sebuah sudut ruangan sambil melihat gadis-gadis itu hanya untuk mencari pada diri mereka berbagai kesamaan dengan yang dimiliki Laila. Seorang gadis mengenakan pakaian yang sama dengan milik Laila; yang lainnya punya rambut panjang seperti Laila, dan yang lainnya lagi punya senyum mirip Laila.

Namun, tak ada seorang gadis pun yang benar-benar mirip dengannya, Malahan, tak ada seorang pun yang memiliki separuh kecantikan Laila. Pesta itu hanya menambah kepedihan perasaan Majnun saja kepada kekasihnya. Ia pun berang dan marah serta menyalahkan setiap orang di pesta itu lantaran berusaha mengelabuinya.

Dengan berurai air mata, Majnun menuduh orang-tuanya dan sahabat-sahabatnya sebagai berlaku kasar dan kejam kepadanya. Ia menangis sedemikian hebat hingga akhirnya jatuh ke lantai dalam keadaan pingsan. Sesudah terjadi petaka ini, ayahnya memutuskan agar Qais dikirim untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah dengan harapan bahwa Allah akan merahmatinya dan membebaskannya dari cinta yang menghancurkan ini.

Di Makkah, untuk menyenangkan ayahnya, Majnun bersujud di depan altar Kabah, tetapi apa yang ia mohonkan? “Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para Pecinta, Engkau yang menganugerahkan cinta, aku hanya mohon kepada-Mu satu hal saja,”Tinggikanlah cintaku sedemikian rupa sehingga, sekalipun aku binasa, cintaku dan kekasihku tetap hidup.” Ayahnya kemudian tahu bahwa tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk anaknya.

Usai menunaikan ibadah haji, Majnun yang tidak mau lagi bergaul dengan orang banyak di desanya, pergi ke pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia tidak kembali ke gubuknya. Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih tinggal direruntuhan sebuah bangunan tua yang terasing dari masyarakat dan tinggal didalamnya.

Sesudah itu, tak ada seorang pun yang mendengar kabar tentang Majnun. Orang-tuanya mengirim segenap sahabat dan keluarganya untuk mencarinya. Namun, tak seorang pun berhasil menemukannya. Banyak orang berkesimpulan bahwa Majnun dibunuh oleh binatang-binatang gurun sahara. Ia bagai hilang ditelan bumi.

Suatu hari, seorang musafir melewati reruntuhan bangunan itu dan melihat ada sesosok aneh yang duduk di salah sebuah tembok yang hancur. Seorang liar dengan rambut panjang hingga ke bahu, jenggotnya panjang dan acak-acakan, bajunya compang-camping dan kumal. Ketika sang musafir mengucapkan salam dan tidak beroleh jawaban, ia mendekatinya. Ia melihat ada seekor serigala tidur di kakinya.

“Hus” katanya, ‘Jangan bangunkan sahabatku.” Kemudian, ia mengedarkan pandangan ke arah kejauhan. Sang musafir pun duduk di situ dengan tenang. Ia menunggu dan ingin tahu apa yang akan terjadi. Akhimya, orang liar itu berbicara. Segera saja ia pun tahu bahwa ini adalah Majnun yang terkenal itu, yang berbagai macam perilaku anehnya dibicarakan orang di seluruh jazirah Arab.

Tampaknya, Majnun tidak kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan dengan binatang-binatang buas dan liar. Dalam kenyataannya, ia sudah menyesuaikan diri dengan sangat baik sehingga lumrah-lumrah saja melihat dirinya sebagai bagian dari kehidupan liar dan buas itu.

Berbagai macam binatang tertarik kepadanya, karena secara naluri mengetahui bahwa Majnun tidak akan mencelakakan mereka. Bahkan, binatang-binatang buas seperti serigala sekalipun percaya pada kebaikan dan kasih sayang Majnun. Sang musafir itu mendengarkan Majnun melantunkan berbagai kidung pujiannya pada Laila.

Mereka berbagi sepotong roti yang diberikan olehnya. Kemudian, sang musafir itu pergi dan melanjutkan petjalanannya. Ketika tiba di desa Majnun, ia menuturkan kisahnya pada orang-orang. Akhimya, sang kepala suku, ayah Majnun, mendengar berita itu. Ia mengundang sang musafir ke rumahnya dan meminta keteransran rinci darinya. Merasa sangat gembira dan bahagia bahwa Majnun masih hidup, ayahnya pergi ke gurun sahara untuk menjemputnya.

Ketika melihat reruntuhan bangunan yang dilukiskan oleh sang musafir itu, ayah Majnun dicekam oleh emosi dan kesedihan yang luar biasa. Betapa tidak! Anaknya terjerembab dalam keadaan mengenaskan seperti ini. “Ya Tuhanku, aku mohon agar Engkau menyelamatkan anakku dan mengembalikannya ke keluarga kami,” jerit sang ayah menyayat hati. Majnun mendengar doa ayahnya dan segera keluar dari tempat persembunyiannya.

Dengan bersimpuh dibawah kaki ayahnya, ia pun menangis, “Wahai ayah, ampunilah aku atas segala kepedihan yang kutimbulkan pada dirimu. Tolong lupakan bahwa engkau pernah mempunyai seorang anak, sebab ini akan meringankan beban kesedihan ayah. Ini sudah nasibku mencinta, dan hidup hanya untuk mencinta.” Ayah dan anak pun saling berpelukan dan menangis. Inilah pertemuan terakhir mereka.

Keluarga Laila menyalahkan ayah Laila lantaran salah dan gagal menangani situasi putrinya. Mereka yakin bahwa peristiwa itu telah mempermalukan seluruh keluarga. Karenanya, orangtua Laila memingitnya dalam kamamya. Beberapa sahabat Laila diizinkan untuk mengunjunginya, tetapi ia tidak ingin ditemani. Ia berpaling kedalam hatinya, memelihara api cinta yang membakar dalam kalbunya.

Untuk mengungkapkan segenap perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubah syair kepada kekasihnya pada potongan-potongan kertas kecil. Kemudian, ketika ia diperbolehkan menyendiri di taman, ia pun menerbangkan potongan-potongan kertas kecil ini dalam hembusan angin. Orang-orang yang menemukan syair-syair dalam potongan-potongan kertas kecil itu membawanya kepada Majnun. Dengan cara demikian, dua kekasih itu masih bisa menjalin hubungan.

Karena Majnun sangat terkenal di seluruh negeri, banyak orang datang mengunjunginya. Namun, mereka hanya berkunjung sebentar saja, karena mereka tahu bahwa Majnun tidak kuat lama dikunjungi banyak orang. Mereka mendengarkannya melantunkan syair-syair indah dan memainkan serulingnya dengan sangat memukau.

Sebagian orang merasa iba kepadanya; sebagian lagi hanya sekadar ingin tahu tentang kisahnya. Akan tetapi, setiap orang mampu merasakan kedalaman cinta dan kasih sayangnya kepada semua makhluk. Salah seorang dari pengunjung itu adalah seorang ksatria gagah berani bernama ‘Amar, yang berjumpa dengan Majnun dalam perjalanannya menuju Mekah. Meskipun ia sudah mendengar kisah cinta yang sangat terkenal itu di kotanya, ia ingin sekali mendengarnya dari mulut Majnun sendiri.

Drama kisah tragis itu membuatnya sedemikian pilu dan sedih sehingga ia bersumpah dan bertekad melakukan apa saja yang mungkin untuk mempersatukan dua kekasih itu, meskipun ini berarti menghancurkan orang-orang yang menghalanginya! Kaetika Amr kembali ke kota kelahirannya, Ia pun menghimpun pasukannya. Pasukan ini berangkat menuju desa Laila dan menggempur suku di sana tanpa ampun. Banyak orang yang terbunuh atau terluka.

Ketika pasukan ‘Amr hampir memenangkan pertempuran, ayah Laila mengirimkan pesan kepada ‘Amr, “Jika engkau atau salah seorang dari prajuritmu menginginkan putriku, aku akan menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jika engkau ingin membunuhnya, aku tidak keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah bisa kuterima, jangan minta aku untuk memberikan putriku pada orang gila itu”.

Majnun mendengar pertempuran itu hingga ia bergegas kesana. Di medan pertempuran, Majnun pergi ke sana kemari dengan bebas di antara para prajurit dan menghampiri orang-orang yang terluka dari suku Laila. Ia merawat mereka dengan penuh perhatian dan melakukan apa saja untuk meringankan luka mereka.

Amr pun merasa heran kepada Majnun, ketika ia meminta penjelasan ihwal mengapa ia membantu pasukan musuh, Majnun menjawab, “Orang-orang ini berasal dari desa kekasihku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi musuh mereka?” Karena sedemikian bersimpati kepada Majnun, ‘Amr sama sekali tidak bisa memahami hal ini.

Apa yang dikatakan ayah Laila tentang orang gila ini akhirnya membuatnya sadar. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk mundur dan segera meninggalkan desa itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Majnun.

Laila semakin merana dalam penjara kamarnya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia nikmati adalah berjalan-jalan di taman bunganya. Suatu hari, dalam perjalanannya menuju taman, Ibn Salam, seorang bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Laila dan serta-merta jatuh cinta kepadanya.

Tanpa menunda-nunda lagi, ia segera mencari ayah Laila. Merasa lelah dan sedih hati karena pertempuran yang baru saja menimbulkan banyak orang terluka di pihaknya, ayah Laila pun menyetujui perkawinan itu. Tentu saja, Laila menolak keras. Ia mengatakan kepada ayahnya, “Aku lebih senang mati ketimbang kawin dengan orang itu.”

Akan tetapi, tangisan dan permohonannya tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja keadaannya. Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua Laila merasa lega bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga.

Akan tetapi, Laila menegaskan kepada suaminya bahwa ia tidak pernah bisa mencintainya. “Aku tidak akan pernah menjadi seorang istri,” katanya. “Karena itu, jangan membuang-buang waktumu. Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin, masih ada banyak wanita yang bisa membuatmu bahagia.”

Sekalipun mendengar kata-kata dingin ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya beberapa waktu larnanya, pada akhirnya Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak mau memaksa Laila, melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.

Ketika kabar tentang perkawinan Laila terdengar oleh Majnun, ia menangis dan meratap selama berhari-hari. Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat hati dan mengharu biru kalbu sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut menangis. Derita dan kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang berkumpul di sekelilinginya pun turut bersedih.

Namun, kesedihannya ini tak berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan ketenangan batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia pun terus tinggal di reruntuhan itu. Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan malah menjadi semakin lebih dalam lagi.

Dengan penuh ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atas perkawinannya: “Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanya meminta satu hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku, sekalipun engkau telah memilih orang lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah lupa bahwa ada seseorang yang, meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan memanggil-manggil namamu, Laila”.

Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda pengabdian tradisional. Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, “Dalam hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan cintamu ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu” .

“Kini, aku harus menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik orang lain. Katakan kepadaku, kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk cinta, engkau ataukah aku?

Kisah Cinta Sejati Laila Majnun


Tahun demi tahun berlalu, dan orang-tua Majnun pun meninggal dunia. Ia tetap tinggal di reruntuhan bangunan itu dan merasa lebih kesepian ketimbang sebelumnya. Di siang hari, ia mengarungi gurun sahara bersama sahabat-sahabat binatangnya. Di malam hari, ia memainkan serulingnya dan melantunkan syair-syairnya kepada berbagai binatang buas yang kini menjadi satu-satunya pendengarnya. Ia menulis syair-syair untuk Laila dengan ranting di atas tanah.

Selang beberapa lama, karena terbiasa dengan cara hidup aneh ini, ia mencapai kedamaian dan ketenangan sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu pun yang sanggup mengusik dan mengganggunya. Sebaliknya, Laila tetap setia pada cintanya. Ibn Salam tidak pernah berhasil mendekatinya.

Kendatipun ia hidup bersama Laila, ia tetap jauh darinya. Berlian dan hadiah-hadiah mahal tak mampu membuat Laila berbakti kepadanya. Ibn Salam sudah tidak sanggup lagi merebut kepercayaan dari istrinya. Hidupnya serasa pahit dan sia-sia. Ia tidak menemukan ketenangan dan kedamaian di rumahnya. Laila dan Ibn Salam adalah dua orang asing dan mereka tak pernah merasakan hubungan suami istri. Malahan, ia tidak bisa berbagi kabar tentang dunia luar dengan Laila.

Tak sepatah kata pun pernah terdengar dari bibir Laila, kecuali bila ia ditanya. Pertanyaan ini pun dijawabnya dengan sekadarnya saja dan sangat singkat. Ketika akhirnya Ibn Salam jatuh sakit, ia tidak kuasa bertahan, sebab hidupnya tidak menjanjikan harapan lagi. Akibatnya, pada suatu pagi di musim panas, ia pun meninggal dunia.

Kematian suaminya tampaknya makin mengaduk-ngaduk perasaan Laila. Orang-orang mengira bahwa ia berkabung atas kematian Ibn Salam, padahal sesungguhnya ia menangisi kekasihnya, Majnun yang hilang dan sudah lama dirindukannya.  Selama bertahun-tahun, ia menampakkan wajah tenang, acuh tak acuh, dan hanya sekali saja ia menangis.


Kini, ia menangis keras dan lama atas perpisahannya dengan kekasih satu-satunya. Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah ayahnya. Meskipun masih berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana, yang jarang dijumpai pada diri wanita seusianya. Sementara api cintanya makin membara, kesehatan Laila justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikan dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak tidur dengan baik selama bermalam-malam.

Bagaimana ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya hanyalah Majnun semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup bertahan lama. Akhirnya, penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa bulan pun menggerogoti kesehatannya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, ia masih memikirkan Majnun.

Ah, kalau saja ia bisa berjumpa dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya! Ia hanya membuka matanya untuk memandangi pintu kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis dan ia akan pergi tanpa berhasil mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun. Pada suatu malam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun meninggal dunia dengan tenang sambil bergumam, Majnun…Majnun. .Majnun.

Kabar tentang kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lama kemudian, berita kematian Lailapun terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu, ia pun jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri selama beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju desa Laila.

Nyaris tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas tanah. Majnun bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Laila di luar kota . Ia berkabung dikuburannya selama beberapa hari.

Ketika tidak ditemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya, per1ahan-lahan ia meletakkan kepalanya di kuburan Laila kekasihnya dan meninggal dunia dengan tenang. Jasad Majnun tetap berada di atas kuburan Laila selama setahun. Belum sampai setahun peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dan kerabat menziarahi kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas kuburan Laila.

Makam Layla Majnun


Beberapa teman sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa itu adalah jasad Majnun yang masih segar seolah baru mati kemarin. Ia pun dikubur di samping Laila. Tubuh dua kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kini bersatu kembali.

Diambil dari Negeri Sufi ( Tales from The Land of Sufis )

Tentang Penulis Laila Majnun, Syaikh Sufi Mawlana Hakim Nizhami qs :

Syaikh Hakim Nizhami qs merupakan penulis sufi terkemuka diabad pertengahan karena dua roman cinta yang menyayat hati, yaitu Laila & Majnun serta Khusrau & Syirin. Kisah sedih Laila & Majnun , dimana Majnun yang berarti “Tergila-gila akan Cinta”, karena cintanya yang tak sampai pada Laila, akhirnya membuatnya gila.
ReadmoreKisah Cinta Laila Majnun - Kisah Dan Hikmah

Nubuat Tentang Kejadian dan Tanda-Tanda Menjelang Kiamat

Hudzaifah bin As-yad al-Ghifary berkata, sewaktu kami sedang berbincang, tiba-tiba datang Nabi Muhammad S.A.W kepada kami lalu bertanya, "Apakah yang kamu semua sedang bincangkan?"
Lalu kami menjawab, "Kami sedang membincangkan tentang hari Kiamat."
Sabda Rasulullah S.A.W. "Sesungguhnya kiamat itu tidak akan terjadi sebelum kamu melihat sepuluh tanda :-

· Asap
· Dajjal
· Binatang melata di bumi
· Terbitnya matahari sebelah barat
· Turunnya Nabi Isa A.S
· Keluarnya Yakjuj dan Makjuj
· Gerhana di timur
· Gerhana di barat
· Gerhana di jazirah Arab
· Keluarnya api dari kota Yaman menghalau manusia ke tempat pengiringan mereka.


Dajjal maksudnya ialah bahaya besar yang tidak ada bahaya sepertinya sejak Nabi Adam A.S sampai hari kiamat. Dajjal boleh membuat apa sahaja perkara-perkara yang luar biasa. Dia akan mendakwa dirinya Tuhan, sebelah matanya buta dan di antara kedua matanya tertulis perkataan 'Ini adalah orang kafir'(begitu jelas kekafirannya di mata keimanan seluruh orang muslim, namun tetap saja banyak yang mengikut dajjal karena beratnya kehidupan masa itu).

Asap akan memenuhi timur dan barat, ia akan berlaku selama 40 hari. Apabila orang yang beriman terkena asap itu, ia akan bersin seperti terkena selsema, sementara orang kafir pula keadaannya seperti orang mabuk, asap akan keluar dari hidung, telinga dan dubur mereka.(kemungkinan itu adalah gas belerang atau asap gas air mata yang di gunakan dalam peperangan)


Binatang melata yang dikenali sebagai Dabatul Ard ini akan keluar di kota Mekah dekat gunung Shafa, ia akan berbicara dengan kata-kata yang fasih dan jelas. Dabatul Ard ini akan membawa tongkat Nabi Musa A.S dan cincin Nabi Sulaiman A.S.
Apabila binatang ini memukulkan tongkatnya ke dahi orang yang beriman, maka akan tertulislah di dahi orang itu 'Ini adalah orang yang beriman'. Apabila tongkat itu dipukul ke dahi orang yang kafir, maka akan tertulislah 'Ini adalah orang kafir'.

Turunnya Nabi Isa. A.S di negeri Syam di menara putih, beliau akan membunuh dajjal. Kemudian Nabi Isa A.S akan menjalankan syariat Nabi Muhammad S.A.W di bawah Kepemimpinan Imam Mahdi as.

Yakjuj dan Makjuj pula akan keluar, mereka ini merupakan dua golongan. Satu golongan kecil dan satu lagi golongan besar. Yakjuj dan Makjuj itu kini berada di belakang bendungan yang dibangunkan oleh Iskandar Zulqarnain.
Rasulullah S.A.W telah bersabda,
" Hari kiamat itu mempunyai tanda, bermulanya dengan tidak laris jualan di pasar, sedikit hujan dan begitu juga dengan tumbuh-tumbuhan. Ghibah menjadi-jadi di merata-rata, memakan riba, banyaknya anak-anak zina, orang kaya diagung-agungkan, orang-orang fasik akan bersuara lantang di masjid, para ahli mungkar lebih banyak menonjol dari ahli haq"
Berkata Ali bin Abi Talib as ,
Akan datang di suatu masa di mana Islam itu hanya akan tinggal namanya saja, agama hanya bentuk sahaja, Al-Qur'an hanya dijadikan bacaan sahaja, mereka mendirikan masjid, sedangkan masjid itu sunyi dari zikir menyebut Asma Allah. Orang-orang yang paling buruk pada zaman itu ialah para ulama, dari mereka akan timbul fitnah dan fitnah itu akan kembali kepada mereka juga. Dan kesemua yang tersebut adalah tanda-tanda hari kiamat."

Sabda Rasulullah S.A.W,
"Apabila harta orang kafir yang dihalalkan tanpa perang yang dijadikan pembahagian bergilir, amanat dijadikan seperti harta rampasan, zakat dijadikan seperti pinjaman, belajar lain daripada agama, orang lelaki taat kepada isterinya, menderhakai ibunya, lebih rapat dengan teman dan menjauhkan ayahnya, suara-suara lantang dalam masjid, pemimpin kaum dipilih dari orang yang fasik, oarng dimuliakan kerana ditakuti akan tindakan jahat dan aniayanya dan bukan kerana takutkan Allah, maka kesemua itu adalah tanda-tanda kiamat."
ReadmoreNubuat Tentang Kejadian dan Tanda-Tanda Menjelang Kiamat

Al-qur'an sebagai Pembela Di Hari Kiamat

Abu Umamah r.a. berkata :
"Rasulullah S.A.W telah menganjurkan supaya kami semua mempelajari Al-Qur'an, setelah itu Rasulullah S.A.W memberitahu tentang kelebihan Al-Qur'an."
Telah bersabda Rasulullah S.A.W :
Belajarlah kamu akan Al-Qur'an, di akhirat nanti dia akan datang kepada ahli-ahlinya, yang mana di kala itu orang sangat memerlukannya."
Ia akan datang dalam bentuk seindah-indahnya dan ia bertanya,
" Kenalkah kamu kepadaku?"
Maka orang yang pernah membaca akan menjawab :
"Siapakah kamu?"

Maka berkata Al-Qur'an :
"Akulah yang kamu cintai dan kamu sanjung, dan juga telah bangun malam untukku dan kamu juga pernah membacaku di waktu siang hari."


Kemudian berkata orang yang pernah membaca Al-Qur'an itu :
"Adakah kamu Al-Qur'an?"
Lalu Al-Qur'an mengakui dan menuntun orang yang pernah membaca menghadap Allah S.W.T. Lalu orang itu diberi kerajaan di tangan kanan dan kekal di tangan kirinya, kemudian dia meletakkan mahkota di atas kepalanya.
Pada kedua ayanh dan ibunya pula yang muslim diberi perhiasan yang tidak dapat ditukar dengan dunia walau berlipat ganda, sehingga keduanya bertanya : "Dari manakah kami memperolehi ini semua, pada hal amal kami tidak sampai ini?"

Lalu dijawab : "Kamu diberi ini semua karena anak kamu telah mempelajari Al-Qur'an."
ReadmoreAl-qur'an sebagai Pembela Di Hari Kiamat

Penggolongan Manusia Mengenai hadist-hadist Palsu

Seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin Tentang hadist-hadist palsu yang diada-adakan orang, yang bertentangan dengan ucapan Nabi SAWW, yang terdapat di kalangan rakyat.

[1]Atasnya Amirul Mukminin berkata:
"Sesungguhnya apa yang berada di kalangan rakyat itu adalah benar (haqq) dan batil (bâthil) sekaligus, benar (shidg) dan dusta (kidzb), menasakh dan dinasakhkan, yang umum dan yang khusus, yang jelas dan samar. Bahkan di zaman Nabi, ucapan-ucapan dusta telah diatributkan kepada beliau sedemikian rupa sehingga Nabi mengatakan dalam khotbah beliau, "Barangsiapa berdusta tentang saya maka sedialah tempatnya di neraka."
Orang-orang yang meriwayatkan hadis terbagi dalam empat jenis, tak lebih.[2]

Pertama: Kaum Munafik Pendusta
Orang munafik adalah orang yang memamerkan keimanan dan mengambil wajah seorang Muslim, ia tak ragu-ragu berbuat dosa dan tidak menjauh dari kemungkaran; ia dengan sengaja mengatributkan hal-hal yang dusta kepada Rasulullah SAWW. Apabila orang tahu bahwa ia seorang munafik dan pembohong, mereka tidak akan menerima apa pun dari dia dan tidak akan mengukuhkan apa yang dikatakannya.
Sebaliknya, mereka katakan bahwa ia sahabat Nabi, ia telah bertemu dengan beliau, mendengar (kata-kata beliau) dari beliau dan mendapatkan (pengetahuan) dari beliau. Oleh karena itu mereka mendengarkan apa yang dikatakannya. Allah juga telah memperingatkan kepada Anda tentang orang-orang munafik dan menggambarkan mereka sepenuhnya bagi Anda. Mereka telah berlanjut setelah Rasulullah. Mereka beroleh kedudukan dengan para pemimpin sesat dan pendakwah ke neraka melalui kepalsuan dan fitnah.Maka mereka menempatkan mereka (para munafik) itu pada jabatan-jabatan tinggi dan menjadikan mereka para pejabat di atas kepala-kepala rakyat dan menumpuk harta melalui mereka. Orang-orang selalu bersama para penguasa dan mengejar dunia ini, kecuali orang-orang kepada siapa Allah memberikan perlindungan. Ini yang pertama dari keempat golongan itu.

Kedua: Orang yang Keliru
Kemudian ada orang yang mendengar (suatu ucapan) dari Rasulullah tetapi tidak menghafalnya sebagaimana adanya, melainkan menyimpulkannya. la tidak berdusta dengan sengaja. Lalu ia membawa ucapan itu dan meriwayatkannya, mengamalkannya dan mengaku bahwa, "Saya mendengarnya dari Rasulullah." Apabila kaum Muslim itu mengetahui bahwa ia telah melakukan suatu kekeliruan dalam hal itu, mereka tidak akan menerimanya dari dia, dan apabila ia sendiri mengetahui bahwa ia keliru maka ia akan melepaskannya.

Ketiga: Orang yang Tak Tahu
Orang yang ketiga adalah orang yang mendengar Rasulullah SAWW memerintahkan untuk melakukan sesuatu, dan kemudian Nabi melarang orang melakukannya, tetapi orang itu tidak mengetahuinya. Atau ia mendengar Nabi melarang orang terhadap sesuatu dan kemudian beliau mengizinkannya, tetapi orang itu tidak mengetahuinya. Dengan demikian ia memelihara dalam pikirannya apa yang telah dihapuskan dan tidak menahan hadis yang menggantikannya. Apabila ia tahu bahwa hal itu telah dihapus maka ia akan menolaknya, atau apabila kaum Muslim tahu, ketika mereka mendengarnya dari dia, bahwa hal itu telah dihapus, maka mereka akan menolaknya.

Keempat: Orang yang Menghafal dengan Benar
Yang terakhir, yakni orang yang keempat, adalah orang yang tidak berbicara dusta terhadap Allah maupun terhadap Rasul-Nya. la benci akan, kepalsuan karena takut kepada Allah dan menghormati Rasulullah, dan tidak membuat kekeliruan, tetapi menahan (di pikirannya) tepat apa yang didengaraya, dan ia meriwayatkannya sebagaimana ia mendengarnya, tanpa menambah sesuatu atau meninggalkan sesuatu. la mendengar hadis yang menasakh, ia menahannya dan beramal menurutnya, dan ia mendengar tentang hadis yang sudah dinasakh dan menolaknya. la juga mengerti (tentang hal-hal) yang khusus dan yang umum, dan ia tahu yang umum dan yang khusus, dan menempatkan segala sesuatu pada kedudukannya yang semestinya.
Ucapan-ucapan Rasulullah biasanya terdiri dari dua jenis. yang satu khusus dan yang lainnya umum. Kadang-kadang seorang lelaki mendengar beliau tetapi ia tak tahu apa yang dimaksud Allah Yang Mahasuci dengannya atau apa yang dimaksud Nabi dengan itu. Secara ini si pendengar membawanya dan menghafalnya tanpa mengetahui maknanya dan maksudnya yang sesungguhnya, atau apa sebabnya. Kalangan sahabat Rasulullah semua tidak biasa mengajukan pertanyaan dan menanyakan maknanya kepada beliau; sebenarnya mereka selalu menginginkan seorang Badui atau orang asing datang dan menanyakan kepada beliau SAWW supaya mereka pun dapat mendengarkan. Bilamana suatu hal semacam itu terjadi pada saya, saya bertanya kepada beliau tentang artinya dan memeliharanya. Itulah sebab dan dasar perbedaan di kalangan orang tentang hadis-hadis mereka. •
________________________________________
[1] Orang itu ialah Sulaim ibn Qais al-Hilali yang merupakan salah seorang periwayat hadis melalui Amirul Mukminin.
[2] Dalam Khotbah ini Amirul Mukminin membagi-bagi para periwayat hadis dalam empat kategori.
Kategori pertama, seseorang mengada-adakan sebuah hadis lalu mengatributkannya kepada Nabi. Hadis-hadis palsu ini dan diatributkan kepada beliau, dan proses ini berlanjut, dengan hasil munculnya banyak hadis baru. Ini suatu kenyataan yang tak tersangkal. Tetapi, bilamana seseorang menyangkalnya, basisnya bukan pengetahuan atau kearifan melainkan kebutuhan oratoris atau argumentatif. Maka, pada suatu ketika 'Allamul Huda Sayid al-Murtadha berkesempatan bertemu dengan seorang ulama Sunni dalam konfrontasi dan pada kesempatan itu Sayid al-Murtadha membuktikan dengan fakta-fakta sejarah bahwa hasis-hadis tentang keutamaan para sahabat besar telah diada-adakan dan palsu. Atasnya, ulama Sunni itu membantah bahwa mustahil bahwa ada seorang berani mengucapkan suatu dusta terhadap Nabi dan mengada-adakan hadis sendiri lalu mengatributkannya kepada beliau. Sayid Murtadha mengatakan bahwa ada hadis Nabi menyebutkan, "Banyak hal-hal batil akan diatributkan kepada saya setelah saya mati, dan barangsiapa berkata dusta tentang saya sedialah kediamannya di neraka. (al-Bukhârî, I, h. 38, II, h. 102, IV, h. 207, VIII, h. 54; Muslim, VIII, h. 229; Abû Dawûd, III, h. 319-320; Tirmidzî, IV, h. 524, V, h. 35-36, 40, 199, 634; Ibn Mâjah, I, h. 13-15)
Apabila Anda memandang hadis ini benar, maka Anda harus menyetujui bahwa hal-hal batil telah diatributkan kepada Nabi; tetapi bila Anda memandangnya batil (palsu) maka ini akan membenarkan pendapat kami." Namun, orang-orang itu berhati munafik dan yang biasa mengada-adakan "hadis" mereka sendiri untuk menciptakan bencana dan perpecahan dalam agama dan menyesatkan kaum Muslim yang berkeyakinan lemah. Mereka tetap bercampur dengan kaum Muslim sebagaimana mereka lakukan di masa hidup Nabi; dan sebagaimana mereka tetap sibuk dalam kegiatan-kegiatan membawa bencana dan kehancuran di hari-hari itu, demikian pula setelah Nabi pun mereka tak ragu-ragu untuk mengubah ajaran Islam dan mengubah wajahnya. Malah, di masa Nabi mereka selalu takut kalau-kalau beliau mengungkapkan tabir dan mempermalukan mereka, tetapi setelah wafatnya Nabi kegiatan munafik mereka meningkat dan mereka mengatributkan hal-hal batil kepada Nabi tanpa merisaukan akhir nasib mereka sendiri. Dan orang-orang yang mendengarkan mereka mempercayai mereka karena status mereka sebagai sahabat Nabi, dengan berpikir bahwa apa saja yang mereka katakan adalah tepat dan apa saja yang mereka berikan adalah benar. Kemudian, kepercayaan bahwa semua sahabat itu benar menjadi pembungkam lidah, yang menyebabkan mereka dianggap di luar kritik, pertanyaan, pembahasan dan sensor. Di samping itu, kineija mereka yang mencolok membuat meieka menonjol di mata pemerintah dan karena itu pula diperlukan keberanian untuk berbicara melawan mereka. Ini dibuktikan oleh kata-kata Amirul Mukminin,
"Orang-orang ini beroleh kedudukan pada para pemimpin kesesatan dan penyeru ke neraka, melalui kebatilan dan fitnah. Maka, mereka (penguasa) menempatkannya pada kedudukan tinggi dan menjadikannya pejabat di atas kepala rakyat."
Bersama dengan penghancuran Islam, kaum munafik juga bertujuan menumpuk harta. Mereka berbuat demikian secara bebas sambil mengaku Muslim, yang karenanya mereka tidak hendak melepaskan kedok Islam dan keluar secara terbuka, melainkan meneruskan kegiatan setani mereka dalam jubah Islam dan menyibukkan diri dalam penghancurannya secara mendasar dan menyebarkan perpecahan dengan mengada-adakan hadis palsu. Sehubungan dengan ini Ibn Abil Hadîd menulis,
"Bilamana mereka dibiarkan bebas, mereka pun meninggalkan banyak hal. Bilamana rakyat berlaku diam tentang mereka, mereka pun berlaku diam tentang Islam, tetapi mereka terus melanjutkan kegiatan gelap mereka seperti pemalsuan hadis yang disinggung Amirul Mukminin, karena banyak hal yang tak benar telah dicampuradukkan dengan hadis oleh sekelompok orang yang berkepercayaan batil yang bertujuan sesat dan memutarbalikkan pandangan dan kepercayaan, sementara sebagian dari mereka juga bertujuan menonjol- nonjolkan suatu pihak tertentu dengan siapa mereka mempunyai tujuan-tujuan duniawi lain pula."
Setelah lewatnya masa itu, ketika Mu'awiyah mengambil alih kepemimpinan agama dan menduduki tahta kekuasaan duniawi, ia membuka suatu bagian resmi untuk memproduksi hadis palsu, dan memerintahkan para pejabatnya untuk mengada-adakan hadis dan mempopulerkannya dalam menistakan Ahlulbait Nabi, dan dalam menonjol-nonjolkan 'Utsman dan Bani Umayyah, dan menjanjikan hadiah dan pemberian tanah untuk perbuatan itu. Akibatnya, banyak hadis tentang keutamaan yang dibuat-buat beroleh jalan masuk ke dalam kitab-kitab hadis. Maka, Abul Hasan al-Madâ'inî menulis dalam kitabnya Kitab al-Ahdats dan dikutip oleh Ibn Abil Hadîd, yakni,
"Mu'awiah menulis kepada para pejabatnya bahwa mereka harus memperhatikan secara khusus orang-orang yang terpaut kepada 'Utsman, para pembela dan pencintanya, untuk menghadiahkan kedudukan tinggi, keutamaan dan kehormatan kepada orang-orang yang mriwayatkan hadis-hadis tentang keutamaannya dan keislimeaannya, dan menyampaikan kepadanya apa saja yang diriwayatkan tentang seseorang, bersama namanya, nama ayahnya dan nama sukunya. Para pejabatnya berbuat sesuai dengan itu dan mengumpulkan hadis-hadis tentang keutamaan dan keistimewaan 'Utsman, karena Mu'awiah biasa memberi hadiah, pakaian dan tanah kepada mereka."
Bilamana hadis-hadis palsu tentang keutamaan 'Utsman itu telah tersiar di seluruh kerajaan, maka dengan gagasan bahwa kedudukan para khalifah yang sebelumnya tak boleh tetap rendah, Mu'awiyah menulis kepada para pejabatnya,
"Segera setelah Anda menerima perintah saya ini, Anda harus memanggil rakyat untuk mempersiapkan hadis-hadis tentang keutamaan para sahabat dan para khalifah lain pula, dan perhatikanlah bahwa apabila seorang Muslim meriwayatkan suatu hadis tentang 'Abfl Turab ('Ali), Anda harus menyediakan suatu hadis yang sama tentang para sahabat untuk melawannya, karena hal ini memberikan kepada saya kegembiraan besar dan kesejukan di mata saya, dan hal itu melemahkan kedudukan Abu Turab dan orang-orang yang beipihak kepadanya, dan lebih keras terhadap mereka daripada keutamaan dan keistimewaan 'Utsman."
Ketika surat-suratnya dibacakan kepada rakyat, sejumlah besar hadis semacam itu diiiwayatkan, yang memuji-muji para sahabat, yang dibuat-buat tanpa mengandung kebenaran. (Syarh Nahjul Balâghah, XI, h. 43-47)
Dalam hubungan ini Abu 'Abdullah Ibrahim ibn 'Arafah yang dikenal sebagai Nifthawaih (244-323 H./856-935 M.), ulama dan pakar hadis terkemuka, menulis, dan Ibn Abil Hadîd mengutipnya,

"Kebanyakan dari hadis palsu tentang keutamaan para sahabat dibikin di zaman Mu'awiah untuk beroleh kedudukan di hadapannya, karena menurut pandangannya dengan cara itu ia dapat menghina dan merendahkan Bani Hâsyim." (ibid)
Setelah itu pemalsuan hadis menjadi suatu kebiasaan; para pencari dunia menjadikannya sarana untuk mendapatkan kedudukan di sisi para raja dan bangsawan, dan untuk mengumpul kekayaan. Misalnya, Ghiyât ibn Ibrahim an-Nakha'î (abad kedua Hijrah) membuat suatu hadis tentang terbangnya merpati untuk menghibur Khalifah 'Abbasiah al-Mahdi ibn Manshflr dan beroleh kedudukan di sisinya. (Tarikh al-Baghdâdî, XH, h. 323-327; Mîzânu I'tidâl, m, h. 337-338; Lisân al-Mîzân, IV, h. 422). Abu Sa'id al-Madâ'inî dan lain-lain menjadikannya sarana untuk mencari rezeki. Puncaknya ercapai ketika al-Karramiyyah dan sebagian al-Mutashawwifah memberikan penetapan bahwa mengada-adakan hadis untuk mencegah dosa atau untuk meyakinkan ke arah ketaatan adalah halal. Akibatnya, sehubungan dengan amar makruf nahi mungkar, hadis-hadis diada-adakan dengan bebas, dan ini tidak dipandang bertentangan dengan hukum agama atau moral. Malah pekerjaan ini pada umumnya dilakukan oleh orang-orang yang berpenampilan pertapa atau takwa, yang melewati malamnya dalam salat dan doa dan mengisi siang harinya dengan daftar pembuatan hadis palsunya. Suatu gagasan tentang jumlah hadis palsu ini dapat diperoleh pada kenyataan bahwa dari 600.000 hadis, al-Bukhari memilih 2.761 hadis (Târîkh al-Baghdâdî, II, h. 8; Shifatush-Shafwah, IV, h. 143), Muslim merasa pantas memilih 4.000 dari 300.000 (Târîkh Al-Baghâdî, XIII, h. 101; al-Muntazham, V, h. 32; Thabaqât al-Huffâzh, II, h. 151, 157; Wafayât al-A'yân, V, h. 194). Abu Dawud mengambil 4.800 dari 500.000 (Târîkh al-Baghdâdî, IX, h. 57; Thabaqât al-Huffâzh, II, h. 154; al-Muntazham, V, h. 97; Wafayât al-A 'yân, II, h. 404; dan Ahmad ibn Hanbal mengambil 30.000 dari hampir 1.000.000 hadis (Târîkh al-Baghdâdî, IV, h. 419-420; Thabaqât al-Huffâzh, II, h. 17; Wafayât al-A'yân, I, h. 64; Tahdzîb at-Tahdzîb, I, h. 74). Akan tetapi, bila pilihan ini dikaji, beberapa hadis darinya sama sekali mustahil diatributkan kepada Nabi. Hasilnya ialah bahwa sekelompok besar telah muncul di kalangan kaum Muslim yang, mengingat kitab-kitab yang disebut koleksi hadis yang otoritatif dan benar ini, sepenuhnya menolak nilai pembuktian hadis. (Untuk rujukan selanjutnya, lihatlah al-Ghadîr, V, h. 208-378)
Kategori kedua, para perawi hadis adalah orang-orang yang, tanpa menilai waktu atau konteksnya, meriwayatkan apa saja yang mereka ingat, benar atau salah. Maka, dalam al-Bukhari (jilid II, h. 100-102; jilid V, h. 98), Muslim (jilid III, h. 41-45); Tirmidzi (jilid III, h. 327-329); an-Nasa'i (jilid IV, h. 18); Ibn Majah (jilid I, h. 508-509); Malik ibn Anas (al-Muwaththa', jilid I, h. 234; Syafi'i (Ikhtilâful Hadîs, pada garis pinggir tentang "al-Umm", jilid VII, h. 41, 42) dan al-Baihaqi (jilid IV, h. 72-74) dalam bab berjudul "Menangisi Orang Mati" dinyatakan bahwa ketika Khalifah 'Umar terluka, Shuhaib datang kepadanya sambil menangis, lalu 'Umar berkata,
"Ya Shuhaib, janganlah menangisi saya, sedang Nabi telah mengatakan bahwa orang mati dihukum apabila kaumnya menangisinya."
Setelah meninggalnya Khalifah 'Umar, ketika hal ini disebutkan kepada 'A'isyah, ia berkata, "Semoga Allah menaruh kasihan kepada 'Umar. Rasulullah tidak mengatakan bahwa menangisi kerabat menyebabkan hukuman kepada si mati; beliau mengatakan bahwa hukuman bagi seorang kafir bertambah apabila kaumnya menangisinya." Setelah itu 'A'isyah mengatakan bahwa menurut Al-Qur'an tak seorang pun akan memikul beban (dosa) orang lain, maka mengapa beban (dosa) orang yang menangisi akan ditimpakan kepada si mati. Setelah itu 'A'isyah mengutip ayat,
... Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri....(QS. 6:164; 17:15; 35:18; 39:7; 53:38)
Istri Nabi, 'A'isyah, meriwayatkan bahwa pada suatu hari Nabi melewati seorang wanita Yahudi yang sedang ditangisi kaumnya. Nabi lalu berkata, "Kaumnya sedang menangisinya tetapi ia sedang mengalami hukuman di kubur."
Kategori ketiga, periwayat hadis adalah orang-orang yang mendengar hadis yang telah dinasakh dari Nabi tetapi tidak mendapat kesempatan untuk mendengarkan hadis yang menasakhnya yang dapat dihubungkannya kepada hadis yang dinasakh. Suatu contoh hadis yang menasakh ialah ucapan Nabi yang mengandung rujukan kepada hadis yang telah dinasakh, yakni, "Saya (dahulunya) telah melarang Anda menziarahi kubur, tetapi sekarang Anda boleh menziarahinya." (Muslim, III, h. 65; Tirmidzî, II, h. 370; Abu Dawud, III, h, 218, 332; an-Nasa'i, IV, h. 89; Ibn Majah, I, h. 500-501; Mâlik ibn Anas, II, h. 485; Ahmad ibn Hanbal, I, h. 145, 452; II, h. 38, 63, 66, 237, 350; V, h. 350, 355, 356, 357, 359, 361; al-Hakim, al-Mustadrak, I, h. 374-376; dan al-Baihaqi, IV, h. 76-77). Di sini izin ziarah kubur telah menasakh larangan sebelumnya. Sekarang, orang yang hanya mendengarkan hadis yang telah dinasakh itu terus bertindak sesuai dengan itu.
Kategori keempat, periwayat hadis ialah orang-orang yang sepenuhnya mengetahui prinsip-prinsip keadilan, memiliki kecerdasan dan kearifan, mengetahui saat ketika suatu hadis mula-mula diucapkan Nabi, dan juga mengenali hadis-hadis yang menasakh dan yang dinasakh, yang khusus dan yang umum, dan yang bersifat sementara dan yang mutlak. Mereka menjauhi kebatilan dan pemalsuan. Segala yang mereka dengar tetap terpelihara dalam ingatan mereka, dan mereka menyampaikannya dengan tepat kepada orang lain. Hadis-hadis dari merekalah yang merupakan milik Islam yang amat berharga, bebas dari penipuan dan pemalsuan, dan patut diandalkan dan diamalkan. Koleksi hadis-hadis yang telah disampaikan melalui pribadi seperti Amirul Mukminin dalam pengetahuan Islam tetap terbebas dari pemotongan, pemangkasan, atau perubahan, secara tegas menyuguhkan Islam dalam bentuknya yang sebenarnya.

Kedudukan Amirul Mukminin telah terbukti dengan amat pasti melalui hadis-hadis berikut dari Nabi, seperti: Amirul Mukminin, Jabir ibn 'Abdullah, Ibn 'Abbas dan 'Abdullah ibn 'Umar telah meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau berkata,
"Saya adalah kota ilmu dan 'Ali adalah pintunya. Orang yang hendak mendapatkan ilmu (saya) harus datang melalui pintunya." (al-Mustadrak, III, h. 126-127; al-Istî'âb, III, h. 1102; Usd al-Ghâbah, IV, h. 22; Tarikh al-Baghdâdî, II, h. 377; Vn, h. 172; XI, h. 48-50; Tadzkirah al-HuffâTh, Majma' az-Zawâ'id, X, h. 114; Tahdzîb at-Tahdzîb, VI, h. 320; VII, h. 337; Lisân al-Mîzân, II, h. 122-123; Târîkh al-Khulafâ', h. 170; Kanz al-'Ummâl, VI, h. 152, 156, 401); 'Umdah al-Qârî, VII, h. 631; Syarh al-Mawâhib al-Ladunniyyah, III, h. 143)
Amirul Mukminin dan Ibn 'Abbas juga telah meriwayatkan dari Nabi (saw) bahwa:

Saya adalah gudang kearifan dan 'Ali adalah pintunya
. Orang yang hendak mendapatkan kearifan harus datang melalui pintunya." (Hilyah al-Auliyâ', I, h. 64; Mashâbih as-Sunah, II, h. 275; Târîkh al-Baghdâdî, XI, h. 204; Kanz al-'Ummâl, VI, h. 401; ar-Riyâdh an-Nadhirah, II, h. 193)

Alangkah baiknya apabila manusia dapat mengambil berkah Nabi melalui sumber-sumber pengetahuan ini. Tetapi adalah suatu bab tragis dalam sejarah bahwa walaupun hadis-hadis melalui kaum Khariji dan musuh-musuh keluarga Nabi diterima, namun bilamana rangkaian perawi meliputi nama seseorang dari kalangan keluarga Nabi, terdapat suatu keraguan untuk menerima hadis itu. salam :-D
ReadmorePenggolongan Manusia Mengenai hadist-hadist Palsu

Anak kecil yang takut api neraka


Anak kecil yang takut api neraka


Dalam sebuah riwayat menyatakan bahawa ada seorang lelaki tua sedang berjalan-jalan di tepi sungai, sedang dia berjalan-jalan dia terpandang seorang anak kecil sedang mengambil wudhu' sambil menangis.
Apabila orang tua itu melihat anak kecil tadi menangis, dia pun berkata, "Wahai anak kecil kenapa kamu menangis?"
Maka berkata anak kecil itu, "Wahai bapak saya telah membaca ayat al-Qur'an sehingga sampai kepada ayat yang berbunyi, "Yaa ayyuhal ladziina aamanuu quu anfusakum" yang bermaksud, " Wahai orang-orang yang beriman, jagalah olehmu sekalian akan dirimu." Saya menangis sebab saya takut akan dimasukkan ke dalam api neraka."

Berkata orang tua itu, "Wahai anak, janganlah kamu takut, sesungguhnya kamu terpelihara dan kamu tidak akan dimasukkan ke dalm api neraka."
Berkata anak kecil itu, "Wahai bapak, bapak adalah orang yang berakal, tidakkah pakcik lihat kalau orang menyalakan api maka yang pertama sekali yang mereka akan letakkan ialah ranting-ranting kayu yang kecil dahulu kemudian baru mereka letakkan yang besar. Jadi tentulah saya yang kecil ini akan dibakar dahulu sebelum dibakar orang dewasa."

Berkata orang tua itu, sambil menangis, "Sesungguh anak kecil ini lebih takut kepada neraka daripada orang yang dewasa maka bagaimanakah keadaan kami nanti?"
ReadmoreAnak kecil yang takut api neraka